Oleh: Julhayadi Arya Puntara (Ketua Pemuda PUI KBB, Pemerhati Sosial & Politik)

Pemerintahan Prabowo-Gibran di awal tahun 2025 ini menghadapi ujian berat. APBN cekak, sedangkan kebutuhan anggaran untuk pembangunan dan memenuhi janji kampanye begitu besar. Porsi kementerian, wamen dan lembaga juga termasuk “gemoy”. Total ada 48 menteri dan 5 kepala badan serta 56 orang yang mengisi posisi wakil menteri. Belum lagi ditambah stafsus baik stafsus di level presiden maupun mentri.
Tentu ini membutuhkan porsi anggaran yang besar. Belum lagi untuk memenuhi janji kampanye seperti makan siang gratis membutuhkan anggaran ratusan triliun setiap tahunnya. Pemeriksaan kesehatan gratis, swasembada pangan dan janji populis lainnya. Jika tidak dipenuhi maka berdampak terhadap kepercayaan publik dan integritas sang presiden tentunya. Untuk menyiasatinya anggaran kementrian dan lembaga banyak yang dipangkas alias potong sana potong sini.
Berdasarkan surat edaran menteri keuangan total ada 16 item yang kena pemotongan untuk efisiensi. Dari semua item itu ada yang kena efisiensi sangat tinggi percetakan dan souvenir sebesar 75% bahkan ATK hampir dihilangkan yakni 90%. Menurut beberapa pengamat dan hasil diskusi bahwa efisiensi anggaran ini lebih parah daripada kondisi saat covid dulu. Jika pada saat covid ada refocusing lebih kepada pembekuan atau wait and see jika kondisinya memungkinkan anggarannya bisa dipakai oleh kementrian terkait, maka sekarang ini benar-benar dipotong dan tidak ada.
Jika berkaca terhadap permasalahan di atas setidaknya pemerintah saat ini memikirkan APBN yang cekak ini harus diantisipasi dengan mengevaluasi jumlah kementrian dan lembaga yang proporsional. Jika memang sudah diperkirakan bakalan cekak maka seharusnya dari awal juga rezim ini tidak membentuk kabinet yang “gemoy”. Namun lagi-lagi ini terkesan untuk mengakomodir kepentingan politik dalam pemerintahannya yakni menempatkan orang-orang atau kader parpol yang ikut memenangkan Prabowo-Gibran.
Prabowo mau tidak mau dihadapkan pada dilema antara APBN yang cekak dan kabinet yang “gemoy”. Mau mempertahankan APBN nyatanya harus dipangkas, kabinet yang dipangkas bingung harus reshuffle pendukung. Namun jika berkaca pada negara tetangga seperti Vietnam misalnya yang mengurangi jumlah kementrian dari 30 menjadi 22 kementrian yang tersisa dan bisa menghemat anggaran 72 triliun. Apakah Indonesia bisa? Jawabannya sangat bisa. Kita hanya menunggu keberanian dari presiden Prabowo untuk melakukan itu dengan mengesampingkan kepentingan politik di atas kepentingan bangsa.