Oleh : Syahrul Komara
Milad ke-107 PUI dan keberlangsungan Muktamar ke-15 yang akan diselenggarakan di Jakarta dan Medan, Sumatera Utara, merupakan momentum historis yang tidak sekadar ritual seremonial. Momentum ini hadir dalam konteks dunia yang bergejolak—di mana umat Islam di Indonesia dihadapkan pada tantangan multidimensi: neokolonialisme, neoliberalisme, dan Islamofobia. Artikel ini menganalisis spirit dakwah PUI dalam lintasan sejarah, menelusuri relevansinya untuk konteks kekinian, serta bagaimana Ishlah Tsamaniyah (Delapan Jalur Pokok Perbaikan) dapat menjadi basis epistemologis dan praksis gerakan pembebasan umat.
Menelusuri Akar Historis: PUI sebagai Gerakan Perlawanan dan Pencerahan
PUI lahir dalam konteks dramatis Indonesia awal abad ke-20, di mana kolonialisme Belanda telah menciptakan kemiskinan sistemik, kebodohan terstruktur, dan penindasan multidimensional. Data historis menunjukkan bahwa pada 1917—tahun kelahiran PUI—sekitar 65% penduduk pribumi hidup di bawah garis kemiskinan, sementara angka buta huruf mencapai 93%. Eksploitasi kolonial melalui Cultuurstelsel (Tanam Paksa) telah menghancurkan kemandirian ekonomi rakyat, sementara Politik Etis gagal memberikan emansipasi substantif.
Dalam konteks ini, KH. Abdul Halim, KH. Ahmad Sanusi, dan Mr. R. Syamsuddin mendirikan PUI pada 21 Desember 1917 (6 Rabiul Awwal 1336 H), yang berasal dari fusi dua organisasi: Jam’iyyah Hajatoel Qoeloeb (kemudian menjadi Persjarikatan ‘Oelama) dan Al-Ittihadijatoel Islamijah. Pendirian ini merepresentasikan respons intelektual dan praksis terhadap kolonialisme yang tidak hanya merampas kedaulatan politik, tetapi juga menciptakan “kolonisasi epistemologis” yang menggerus kesadaran bangsa Indonesia.
Para pendiri PUI menyadari bahwa perjuangan melawan kolonialisme membutuhkan pendekatan komprehensif—tidak sekadar perlawanan fisik, tetapi juga pembebasan intelektual, spiritual, dan ekonomi. KH. Abdul Halim mendirikan Perguruan Daarul Uluum dan Pondok Mufiidat Santi Asromo di Majalengka (1930), sementara KH. Ahmad Sanusi mendirikan Perguruan Samsul Uluum di Gunung Puyuh, Sukabumi (1932). Lembaga-lembaga ini tidak sekadar pusat pendidikan, tetapi juga komunitas epistemik yang membangun narasi tandingan terhadap dominasi kolonial.
Spirit Dakwah Era Kolonial: Perlawanan Epistemologis dan Praksis
Spirit dakwah PUI di era kolonial dapat dipahami melalui dua dimensi: perlawanan epistemologis dan praksis transformatif. Perlawanan epistemologis dilakukan melalui dekonstruksi terhadap narasi-narasi kolonial yang mendiskreditkan Islam dan menempatkan Barat sebagai puncak peradaban. Sementara praksis transformatif diwujudkan melalui pembangunan institusi-institusi pendidikan, ekonomi, dan sosial yang berdikari.
Kedua dimensi ini dilandasi oleh pemahaman mendalam terhadap firman Allah dalam Surah Ali Imran (3:104):
“وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ”
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”
Ayat ini menjadi landasan teologis bagi PUI untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar dalam konteks kolonialisme. Perlawanan terhadap penjajah adalah manifestasi dari amr bil ma’ruf, sementara dekonstruksi terhadap narasi-narasi kolonial adalah bentuk nahy ‘an al-munkar. Ketiga pendiri PUI terlibat aktif dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), menunjukkan komitmen mereka pada pergerakan kemerdekaan Indonesia.
Data historis menunjukkan bahwa sekolah-sekolah yang didirikan oleh KH. Abdul Halim dan KH. Ahmad Sanusi mengintegrasikan kurikulum agama dan sains modern—sebuah inovasi radikal yang menantang dikotomi kolonial antara pendidikan “tradisional” dan “modern”. Ini sejalan dengan hadits Nabi Muhammad SAW:
“طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ”
“Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah)
Spirit Dakwah Era Kemerdekaan: Dari Revolusi Politik ke Revolusi Sosial
Pasca-kemerdekaan, spirit dakwah PUI bertransformasi dari perjuangan anti-kolonial menjadi pembangunan bangsa (nation-building) dan reformasi sosial. Jika di era kolonial perjuangan utama adalah merebut kemerdekaan politik, maka di era kemerdekaan fokusnya adalah menciptakan kemerdekaan sejati dalam dimensi sosial, ekonomi, dan kultural.
PUI memperluas jaringan pendidikannya. Data tahun 2016 menunjukkan bahwa PUI Jawa Barat saja telah memiliki 27 Pimpinan Daerah, 81 Pimpinan Cabang, dan sekitar 243 Pengurus Ranting. Lebih dari 917 lembaga pendidikan tersebar di seluruh Jawa Barat, mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Gerakan ini sejalan dengan firman Allah dalam Surah Al-Mujadilah (58:11):
“يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ”
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”
Spirit islah (reformasi) menjadi ruh gerakan PUI pada era ini. Islah tidak sekadar dimaknai sebagai reformasi ritual, tetapi transformasi sistemik dalam berbagai aspek kehidupan. Konsep ini dilandasi oleh firman Allah dalam Surah Al-A’raf (7:56):
“وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا ۚ إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِينَ”
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Ayat ini mengajarkan bahwa tugas manusia adalah melakukan perbaikan (islah), bukan merusak (ifsad). PUI mengejawantahkan prinsip ini melalui Ishlah Tsamaniyah—sebuah pendekatan holistik untuk transformasi sosial yang menjadi panduan gerakan hingga kini.
Ishlah Tsamaniyah: Epistemologi dan Praksis Transformasi
Ishlah Tsamaniyah (Delapan Jalur Pokok Perbaikan) merupakan kerangka epistemologis dan praksis yang komprehensif untuk transformasi sosial. Konsep ini tidak sekadar slogan, tetapi panduan operasional untuk membangun masyarakat yang berkeadilan dan bermartabat.
- Perbaikan ‘Aqidah (إصلاح عقيدة) : Dekolonisasi epistemologis dimulai dari tauhid yang benar—membebaskan pikiran dari dominasi ideologi asing yang merusak. Allah berfirman dalam Surah Al-Ikhlas (112:1-4):
“قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ * اللَّهُ الصَّمَدُ * لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ * وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ”
“Katakanlah: ‘Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.'”
Tauhid yang benar berarti pengakuan bahwa hanya Allah yang berhak disembah, ditaati, dan menjadi sumber nilai. Ini berarti penolakan terhadap “tuhan-tuhan baru” era modern: konsumerisme, materialisme, dan sekularisme ekstrem yang memarginalkan peran agama dalam ruang publik.
- Perbaikan Ibadah (إصلاح عبادة) : Revitalisasi ibadah substantif—bukan sekadar ritual—yang menjadi sumber energi untuk transformasi sosial. Allah berfirman dalam Surah Al-Bayyinah (98:5):
“وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ”
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.”
Ibadah yang benar tidak hanya vertikal (hablun minallah), tetapi juga horizontal (hablun minannas). Zakat, misalnya, tidak sekadar ritual penyucian harta, tetapi instrumen distribusi kekayaan untuk keadilan sosial. Potensi zakat di Indonesia yang dikelola dengan baik dapat menjadi solusi penyelesaian masalah kemiskinan struktural.
- Perbaikan Tarbiyah (إصلاح التربية) : Membangun sistem pendidikan yang memerdekakan—bukan sekadar transfer pengetahuan, tetapi pembentukan karakter dan kesadaran kritis. Nabi Muhammad SAW bersabda:
“خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ”
“Sebaik-baik kamu adalah yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari)
Pendidikan harus memadukan ilmu naqliyah (wahyu) dan aqliyah (rasional), serta membangun kesadaran kritis untuk memahami dan mengubah realitas. Pendidikan model PUI tidak sekadar menciptakan robot-robot akademis, tetapi manusia-manusia yang memiliki kesadaran spiritual, sosial, dan kritis.
- Perbaikan Rumah Tangga (إصلاح العا ئلة) : Keluarga adalah unit terkecil masyarakat dan fondasi peradaban. Allah berfirman dalam Surah Ar-Rum (30:21):
“وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ”
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”
Keluarga sakinah, mawaddah, warahmah adalah benteng terakhir melawan penetrasi nilai-nilai negatif globalisasi dan neoliberalisme. Keluarga yang mempraktikkan nilai-nilai Islam memiliki daya tahan lebih tinggi menghadapi tekanan ekonomi dan sosial.
- Perbaikan Adat Istiadat/Budaya (إصلاح العادة) : Revitalisasi budaya lokal yang selaras dengan nilai Islam dan meninggalkan yang bertentangan. Ini sesuai dengan kaidah fiqh:
“العادة محكمة”
“Adat dapat menjadi hukum” (selama tidak bertentangan dengan syariat).
Islam yang berkembang di Indonesia adalah Islam yang berhasil berdialog dengan budaya lokal—sebuah proses dialektis yang menghasilkan Islam Nusantara yang moderat dan toleran. Namun, globalisasi dan penetrasi budaya asing mengancam keberlanjutan budaya lokal. PUI perlu memfasilitasi dialog antara Islam dan budaya lokal untuk menghasilkan sintesis kreatif yang otentik.
- Perbaikan Ummat (إصلاح الأمة) : Memperkuat solidaritas dan kesatuan umat Islam tanpa mengorbankan kebhinekaan. Allah berfirman dalam Surah Al-Hujurat (49:10):
“إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ”
“Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.”
Persatuan umat bukan homogenisasi yang menafikan keragaman, tetapi “unity in diversity”—kesatuan dalam keragaman. Umat Islam Indonesia dengan berbagai mazhab, aliran, dan organisasinya harus bersatu dalam merespons tantangan bersama: kemiskinan, ketidakadilan, dan penindasan.
- Perbaikan Ekonomi (إصلاح الإقتصاد) : Membangun kemandirian ekonomi umat berbasis prinsip syariah dan keadilan sosial. Allah mengharamkan riba dalam Surah Al-Baqarah (2:275):
“الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا ۗ وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا”
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Sistem ekonomi kapitalis-neoliberal yang dominan saat ini bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam: spekulasi, eksploitasi, akumulasi berlebihan, dan ketimpangan. PUI perlu membangun alternatif ekonomi berbasis syariah: bank dan koperasi syariah, wakaf produktif, dan UMKM berbasis komunitas.
- Perbaikan Masyarakat (إصلاح المجتمع) : Membangun civil society yang kuat dan berkeadilan. Allah berfirman dalam Surah An-Nahl (16:90):
“إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ”
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”
Masyarakat madani yang dibangun oleh PUI harus menjunjung tinggi keadilan (‘adl), kebajikan (ihsan), dan solidaritas sosial (ita’ dzi al-qurba), serta melawan segala bentuk kekejian (fahsya’), kemungkaran (munkar), dan permusuhan (baghy).
Tantangan Kontemporer: Neokolonialisme, Neoliberalisme, dan Islamofobia
Memasuki abad ke-21, tantangan yang dihadapi umat Islam semakin kompleks. Neokolonialisme tidak lagi beroperasi melalui pendudukan fisik, tetapi melalui dominasi ekonomi, politik, dan kultural. Neoliberalisme—dengan dogma privatisasi, deregulasi, dan kompetisi bebas—telah menciptakan ketimpangan yang menganga.
Liberalisasi sektor keuangan telah mengakibatkan penggusuran jutaan UMKM, sebagai bentuk “akumulasi melalui perampasan” yang merusak fondasi ekonomi rakyat. Sementara itu, Islamofobia semakin menguat globally dan berimbas pada kebijakan domestik. Berbagai kasus yang diklaim sebagai “radikalisme” seringkali ditujukan pada aktivis yang menolak kebijakan neoliberal, seperti privatisasi sumber daya alam—sebuah bentuk kriminalisasi terhadap perlawanan yang legitimat.
Dalam konteks ini, PUI perlu merevitalisasi spirit dakwahnya untuk merespons tantangan-tantangan baru khususnya di era Digital ini.
Revitalisasi Spirit Dakwah PUI di Era Digital: Strategi dan Implementasi
Di era digital dan globalisasi, PUI perlu merevitalisasi spirit dakwahnya dengan strategi dan implementasi yang relevan. Berikut adalah beberapa strategi kunci:
- Dakwah Digital dan Literasi Kritis
Era digital telah mengubah lanskap komunikasi dan informasi. PUI perlu mengoptimalkan media sosial, podcast, video streaming, dan platform digital lainnya untuk menyebarkan pesan-pesan Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Nabi Muhammad SAW bersabda:
“بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً”
“Sampaikanlah dariku walau satu ayat.” (HR. Bukhari)
Namun, digitalisasi dakwah harus diimbangi dengan literasi kritis. Mayoritas remaja saat ini kesulitan membedakan antara konten faktual dan hoaks di media sosial. PUI perlu mengembangkan program literasi digital dan kritis untuk membentengi umat dari informasi menyesatkan dan radikalisme online. Allah berfirman dalam Surah Al-Hujurat (49:6):
“يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ”
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
- Ekonomi Syariah di Era Digital
Digital economy telah mengubah lanskap bisnis dan keuangan. PUI perlu mengembangkan ekosistem ekonomi syariah berbasis digital: fintech syariah, marketplace halal, crowdfunding untuk wakaf produktif, dan sistem pembayaran berbasis blockchain yang sesuai syariah.
Di negara tetangga, fintech syariah telah berhasil mengumpulkan dana wakaf untuk membangun ribuan rumah bagi keluarga prasejahtera. Model ini dapat direplikasi di Indonesia untuk memperkuat kemandirian ekonomi umat, sejalan dengan prinsip PUI untuk perbaikan ekonomi.
- Advokasi Kebijakan Publik di Era Post-Truth
Era post-truth ditandai dengan relativisme kebenaran dan dominasi narasi politik atas fakta. PUI perlu memperkuat kapasitas advokasi kebijakan publik untuk melindungi kepentingan umat dan bangsa dari eksploitasi neoliberal.
Advokasi ini harus berbasis data dan penelitian yang solid. Studi-studi tentang dampak negatif privatisasi sumber daya alam, liberalisasi pasar, dan rezim perdagangan bebas terhadap kesejahteraan rakyat harus didokumentasikan dan dipublikasikan. Allah berfirman dalam Surah Al-Hadid (57:25):
“لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ”
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.”
- Dakwah Wasathiyah dan Kontra-Narasi Islamofobia
Di tengah polarisasi global dan penguatan ekstremisme, PUI perlu memperkuat dakwah wasathiyah (moderasi) yang mengedepankan dialog dan toleransi. Allah menyebut umat Islam sebagai “ummatan wasathan” (umat pertengahan/moderat) dalam Surah Al-Baqarah (2:143):
“وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا”
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.”
Wasathiyah bukan sikap kompromistis terhadap prinsip, tetapi pendekatan seimbang yang menghindari ekstremisme (ghuluw) dan kelalaian (taqshir). PUI perlu mengembangkan kontra-narasi terhadap Islamofobia dengan menunjukkan wajah Islam yang rahmatan lil ‘alamin, bukan sekadar melalui retorika, tetapi juga aksi nyata dalam pemberdayaan masyarakat.
- Dekolonisasi Pendidikan dan Pengetahuan
Sistem pendidikan kita masih terjebak dalam epistemologi kolonial yang mengagungkan Barat dan memarginalkan kearifan lokal. PUI perlu memelopori dekolonisasi pendidikan dan pengetahuan—membangun sistem pendidikan yang berakar pada nilai-nilai Islam dan kearifan lokal, namun tetap terbuka terhadap kemajuan global.
Program “Merdeka Belajar” yang digagas pemerintah seharusnya tidak sekadar reformasi administratif, tetapi revolusi epistemologis. PUI perlu mengembangkan kurikulum alternatif yang mengintegrasikan ilmu-ilmu syar’i, sains modern, dan kearifan lokal dalam kerangka tauhid. Integrasi ilmu harus dimulai dari premis bahwa semua pengetahuan berasal dari Allah.
Penutup: Dakwah PUI di Persimpangan Sejarah
Memasuki abad kedua eksistensinya, PUI berada di persimpangan sejarah. Di satu sisi, tantangan yang dihadapi semakin kompleks: neokolonialisme, neoliberalisme, Islamofobia, dan disrupsi digital. Di sisi lain, peluang untuk memperluas jangkauan dakwah juga semakin terbuka melalui teknologi digital dan jaringan global.
Ishlah Tsamaniyah tetap relevan sebagai kerangka epistemologis dan praksis untuk menavigasi kompleksitas ini. Namun, perlu ada ijtihad kontekstual untuk menerjemahkan konsep-konsep tersebut dalam realitas kontemporer.
Sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Fath (48:29):
“مُّحَمَّدٌ رَّسُولُ اللَّهِ ۚ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ”
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.”
PUI harus tetap teguh dalam prinsip, namun fleksibel dalam metode. Keras dalam menentang kedzaliman dan penindasan, namun penuh kasih sayang dalam membangun solidaritas dan kemaslahatan bersama.
Milad ke-105 dan Muktamar ke-15 PUI di Sumatera Utara harus menjadi momentum untuk merevitalisasi spirit dakwah organisasi ini—meneruskan perjuangan para pendiri dalam konteks yang baru, dengan tantangan yang berbeda, namun dengan semangat yang sama: membebaskan umat dari segala bentuk penindasan dan membangun peradaban yang berkeadilan dan bermartabat.
Sebagaimana diamanatkan dalam Surah Ali Imran (3:110):
“كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ”
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.”
PUI, dengan sejarah panjang dan kontribusinya, memiliki potensi besar untuk menjadi mercusuar peradaban yang berdaulat di tengah arus neokolonialisme dan neoliberalisme global. Mari kita songsong masa depan yang lebih gemilang dengan langkah-langkah yang mantap dan visioner, melalui implementasi Ishlah Tsamaniyah yang kontekstual dan transformatif.
Penulis adalah Syahrul Komara, tokoh muda di Sumatera Utara, Ketua 1 PUI Wilayah Sumatera Utara.